Adhi Widianto Berani Telan Pil Pahit

width=775Lingkungan keluarga sangat berpengaruh ketika memutuskan untuk melepaskan status karyawan dan beralih menjadi usahawan. Tak semua orang tua dan pasangan hidup menyetujui tindakan yang kita ambil. Apalagi, keputusan tersebut, biasanya berimbas pada menurun atau diturunkannya standar hidup. Tapi, Adhi Widianto termasuk yang beruntung karena orang tua, istri, dan anak semata wayangnya memberi dukungan penuh

Russanti Lubis

Life begins at 40. Bagi sebagian besar orang, usia 40 tahun hanyalah sebuah usia. Tapi bagi sebagian orang yang lain, umur 40 tahun merupakan the right time untuk berada di kehidupan yang lebih baik lagi secara materi−non materi. Salah satu yang berpikir seperti itu yaitu Adhi Widianto. Owner dan Business Development Rumah Makan Bebek Judes (baca: Bebek Judes, red.) ini, dari awal bekerja, bercita-cita berhenti kerja pada umur 40 tahun. Lalu bekerja sendiri, dalam arti, memiliki usaha sendiri.

Namun, kelahiran Jakarta, 10 November 1976 ini, karena satu dan lain hal, melakukannya lebih cepat daripada yang ia targetkan. “Saya mengundurkan diri sebagai Area Holder untuk Lampung sebuah perusahaan beverage bertaraf internasional pada umur 35 tahun,” kata Adhi, yang memegang posisi tersebut pada tahun 2006−2011.

Setelah resign, bersama dengan dua temannya, pria yang keputusannya untuk berwirausaha didukung sepenuhnya oleh orang tua dan sang istri ini, membangun usaha advertising, percetakan, dan event organizer sambil men-set up Bebek Judes. Tapi, pada akhirnya, ia memutuskan untuk fokus di Bebek Judes dan meninggalkan perusahaannya. Kendati, perusahaan itu sudah settle dan setiap bulannya membukukan omset Rp300-an juta. “Kalau yang di sana ‘kan usaha bersama, sedangkan Bebek Judes merupakan usaha saya sendiri,” Adhi, beralasan. Kemudian, ia menarik “sahamnya” di perusahaan tersebut dan mengalihkannya ke Bebek Judes.

Di rumah makan yang dibuka pada bulan September 2011 itu, ia menanamkan modal Rp200 juta yang dikuras dari tabungan yang dikumpulkan selama bertahun-tahun. “Makanan berat dengan menu bebek menjadi pilihan saya. Karena sedang tren, baru akan booming. Jadi, umurnya masih sangat panjang. Sama panjangnya dengan bisnis makanan berat pada umumnya,” ungkap sarjana akuntansi dari Sekolah tinggi Ilmu ekonomi YAI, Jakarta, ini. Tapi, ternyata, dalam praktiknya tidak semudah itu. Meski, ia di back up sang Ibu yang notabene bergerak di usaha katering. “Ternyata, rumah makan dengan katering itu dua hal yang jauh berbeda,” imbuhnya.

Imbasnya, timbullah perdebatan panjang dan berulang-ulang antara anak dengan Ibu (yang nantinya menangani bagian dapur Bebek Judes). Bahkan, juga dengan sang istri (mengurusi bagian keuangan). Masalah-masalah lain juga bermunculan, seperti pengeluaran yang membengkak karena menggunakan kontraktor, bahan baku yang terbuang karena pengolahan yang salah, hingga trial and error tiga kali karena adanya perubahan sistem kerja, perubahan pola kerja, dan sebagainya. Hal-hal itu, sempat membuatnya surut dan ingin kembali menjadi karyawan.

“Klimaksnya, saya menanyakan kepada mereka bila usaha ini banyak mudharat (kerugian)nya, lebih baik saya kembali bekerja kantoran,” kisah pria, yang dalam usaha ini mengurusi bagian operasionalnya.

Masalah pribadi juga turut “meramaikan” upayanya berwirausaha. Bapak satu anak dengan istri yang Ibu Rumah Tangga ini mensiasati “dapurnya” dengan menurunkan standar hidup dari 10, misalnya, menjadi 5−3. “Karena saya harus merintis dari bawah, maka harus prihatin dulu. Pada dasarnya, kita tidak dapat merintis usaha tetap dengan standar hidup saat kita masih menjadi karyawan. Hal ini, tidak diketahui oleh semua orang dan tidak semua orang bisa melakukannya. Kita harus berani menelan pil pahit terlebih dulu,” katanya.

Namun, kemudian, disadarinya bahwa itu semua mengarah ke hal-hal yang positif yaitu demi perbaikan Bebek Judes. Dari sini, Adhi pun memperoleh banyak pelajaran, seperti pelajaran meng-handle karyawan, men-set up ruangan, men-set up menu dan price, meng-handle oknum-oknum yang menyambangi rumah makannya, dan sebagainya. “Semua itu, saya anggap ongkos belajar dan sesuatu yang wajar. Apalagi, tidak sampai menimbulkan kerugian, dalam arti, tidak sampai membuat tambah modal laiknya sebuah bisnis resto di mana harus nombok pada 3−6 bulan setelah beroperasi,” ujar Adhi, yang juga menambah ilmu dengan bergabung dalam sebuah komunitas wirausahawan yang sudah settle.

Selain itu, muncul solusi dan kesepakatan bahwa usaha ini harus diteruskan. Bahkan, kemudian, mereka membuat gerakan yang semakin “kencang”. Sementara dari “ilmu-ilmu baru” itu, terbentuklah SOP (Standard Operating Procedure) yang lantas diterapkan di cabang-cabang Bebek Judes ketika diwaralabakan.

Ya. Pada 15 Juni lalu, rumah makan yang berlokasi di Bekasi (kawasan Simpang Tiga Kartini dan Vila Mutiara Gading 2) dan Bandung (kawasan Lengkong Besar) ini menawarkan waralaba senilai Rp275 juta. Untuk itu, Bebek Judes juga dapat dijumpai di Jalan Tuparev (Cirebon) dan Pondok Benda (Pamulang). Dan, usai lebaran, Bebek Judes akan membuka lima cabang lagi.

“Saat saya membuka cabang di Cirebon dan Pamulang, hasil set up ruangan sudah berbeda, dalam arti, semakin baik. Dikatakan begitu, sebab pada awal membuka Bebek Judes saya belum mengetahui apa-apa dan menyerahkan semua urusan set up ruangan kepada kontraktor. Tapi, hasilnya mengecewakan. Selain itu, saya juga harus mengeluarkan biaya mahal. Seiring berjalannya waktu, saya mandorin sendiri dan hasilnya jauh lebih bagus, biaya produksi pun bisa ditekan,” pungkas pria, yang mempunyai motto hidup “Pray Hard, Work Hard” ini.

Tags

Share this on:

Related Post