Selama ini tidak banyak yang tahu kemanfaatan gaharu. Tapi ketika diketahui pohon ini mempunyai nilai ekspor yang tinggi, ia diburu habis-habisan hingga hampir punah. Padahal, gaharu gampang dibudidayakan, seperti yang telah dilakukan Taqyuddin dengan Masjid Gaharu-nya .
Sudah gaharu, cendana pula. Sudah tahu, bertanya pula. Benarkah Anda sudah mengetahui apa itu gaharu dan apa itu cendana, plus damar? Pertanyaan ini muncul, sebab seringkali orang-orang menyamakan ketiga tanaman keras tersebut hanya lantaran ketiganya mengeluarkan bau harum. Padahal, faktanya, ketiganya berbeda satu sama lain.
Menurut Taqyuddin, dosen yang mengajar di Departemen Geografi, F-MIPA Universitas Indonesia (UI), Jakarta, gaharu (Latin: Aquilaria, red.) adalah tanaman tropis yang banyak dijumpai di Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Selain itu, juga dapat ditemui di India, meski berbeda varietasnya dengan yang dijumpai di ketiga negara Asia Tenggara itu. Saat ini, berdasarkan penelitian, di dunia terdapat 27 varietas gaharu dan semua varietas tersebut dapat ditemui di Tanah Air kita ini. Seperti, aquilaria malaccensis yang mendominasi Sumatera atau aquilaria grynops yang menguasai hutan-hutan di Papua.
Gaharu memiliki nilai jual yang tinggi. Karena, baik daun, kulit kayu, maupun kayunya dapat dimanfaatkan. Contoh, daunnya dapat diolah menjadi minuman semacam teh herbal atau diekstrak menjadi pelembab wajah. Sedangkan kulit kayunya, diolah dalam bentuk pasta dengan fungsi sebagai pelembut kulit dan bahan pengawet segala hal yang cepat basi. Dan, yang paling dikenal sebagai komoditas yaitu kayunya yang mengandung gubal (= minyak/getah yang dikeluarkan oleh kayu tersebut, red.).
“Gubal terbentuk karena kayu gaharu terluka oleh berbagai sebab, misalnya kena bacok, patah, dilukai binatang, dan sebagainya. Akibatnya, muncullah semacam jamur (fucarium). Nah, dalam rangka mengobati dirinya dan mempertahankan diri dari imbas lebih lanjut si fucarium, gaharu pun mengeluarkan semacam getah/minyak yang berbau wangi. Bila digambarkan dalam kehidupan manusia, getah ini sama dengan nanah,” jelas Taqy, begitu ia akrab disapa.
Selama pohon ini hidup, Taqy menambahkan, ia akan terus menolak kehadiran fucarium dengan cara seperti itu. Dengan kata lain, ia akan terus mengeluarkan getah/minyak yang harum itu hingga akhirnya terserap ke bagian-bagian kayu yang terdalam. Sehingga, ketika ia mati lantaran ditebang, misalnya, ia masih akan tetap wangi. Bukan cuma itu, jika saat ditebang, tunas-tunasnya tertinggal, maka ia akan tumbuh lagi. Karena itulah, ia disebut tanaman gahar alias bandel dan juga tahan banting. Mengingat, dalam kondisi kritis sekali pun, tanaman ini masih mampu bertunas. Kecuali hamanya yaitu sejenis ulat, menggerogotinya sampai ke tunas-tunasnya.
Nah, berkaitan dengan bau wangi yang dikeluarkannya itulah, gaharu disamakan dengan cendana dan damar. Padahal, cendana dari kecil hingga tumbuh besar sudah wangi. Jadi, tidak perlu harus babak belur dulu. Sedangkan damar yang mempunyai sosok lebih besar ketimbang gaharu, memang getahnya yang harum itulah yang diambil, bukan kayunya.
Gaharu juga gampang sekali dibudidayakan baik dengan biji yang ditebarkan begitu saja maupun secara vegetatif. Tanaman hutan ini dapat pula ditanam di mana pun. “Indikasinya, di mana tumbuh pohon jambu, rambutan, dan nangka, maka di situ pula pohon gaharu dapat tumbuh,” kata sarjana S-1 geografi dari UI ini. Di samping itu, tanaman yang jika tidak ditebang bisa mencapai umur ratusan tahun dan setinggi 40 m ini juga tidak memerlukan perawatan khusus. “Kalau awal tanam dilakukan pada musim hujan, maka dalam masa pertumbuhannya tidak perlu disirami lagi,” lanjutnya.
Sementara, untuk mengusir kehadiran hamanya, Taqy menyarankan agar gaharu ditanam dengan sistem tumpang sari dengan tanaman yang rutin berproduksi setiap bulannya. Seperti, kacang-kacangan, jagung, dan lain-lain. “Tapi, jangan umbi-umbian, karena justru akan mengganggu pertumbuhan gaharu,” ucap sarjana S-2 arkeologi UI ini.
Pohon ini juga tidak memerlukan lahan yang luas. “Di Depok, saya ‘membuat’ Masjid Gaharu yaitu memberdayakan lahan-lahan kosong di sekitar masjid, dengan menyumbangkan bibit-bibit gaharu. Kini, sudah terdapat 6.000 gaharu yang tersebar di 600 masjid,” ujar Taqy, yang “membangun” Masjid Gaharu ini bekerja sama dengan Forum Petani Gaharu Depok dan seizin Dewan Masjid Indonesia.
Enam tahun kemudian, ia melanjutkan, pohon-pohon ini sudah dapat dipanen. “Umur enam tahun, kami jadikan patokan karena sudah dianggap sebagai usia dewasa yang ditandai dengan mengeluarkan bunga. Sehingga, pada umur itu pula ia siap suntik atau dibor, untuk selanjutnya dimasukkan fucarium. Penyuntikan atau pengeboran ini dilakukan lantaran ini budidaya. Berbeda dengan kalau di alam di mana ia tumbuh dan terinfeksi secara alamiah. Dengan kata lain, di sini ada unsur rekayasa,” tutur kelahiran Semarang, 28 Maret 1966 ini.
Bila akan dijadikan minyak (melalui sistem penyulingan, red.), maka enam bulan sesudah disuntik, pohon-pohon ini sudah dapat dipanen (baca: ditebang, red.). Selanjutnya, dipotong-potong, dikeringkan, dan dijual secara kiloan dengan harga (hasil budidaya) Rp200 ribu–Rp3 juta. Sedangkan jika hasil alam, terutama yang kelas premium yang ditandai dengan tenggelamnya kayu gaharu ketika dimasukkan ke dalam air karena tingginya kadar minyak, dapat dijual dengan harga Rp10 juta–Rp30 juta per kilogram.
“Kayu gaharu hasil budidaya yang mutunya kurang saja bisa dijual dengan harga Rp100 ribu/kg. Tapi, setelah disuling menjadi minyak, harganya menjadi Rp80 juta–Rp100 juta untuk setiap liternya. Sebab, sangat wangi dan awet wanginya,” ujar Taqy, yang menekuni usaha ini sejak tiga tahun lalu. Sekadar informasi, untuk menghasilkan 1 litet minyak gaharu dibutuhkan 1 kuintal potongan kayu gaharu kering. Lantas, dari minyak itu dapa diproduksi lagi produk turunannya, seperti parfum, sabun, campuran minyak wangi, dan aromaterapi. “Bahkan, ampas minyaknya pun (setelah dibakar, red.) dapat digunakan sebagai pewangi ruangan atau kamfer,” imbuhnya.
Namun, ia menambahkan, jika akan dijadikan chip, maka setahun setelah disuntik, pohon-pohon tersebut baru dapat dipanen. Kemudian, kayunya dicincang dan dikeringkan. Selanjutnya, dimanfaatkan sebagai dupa atau hio. Sebab, kalau dibakar, ia akan mengeluarkan asap wangi beraroma mistis.
Dengan segala kelebihan yang dimiliki tersebut, tak pelak permintaan pasar akan kayu yang berwarna hitam ini terus meningkat. Berdasarkan data, total permintaan gaharu di seluruh dunia sebanyak 2.000 ton/tahun, yang sebagian di antaranya dipenuhi oleh gaharu alam. Sementara, pemintaan akan gaharu Indonesia yang datang dari Singapura, India, Dubai, Malaysia, dan Thailand memang hanya 300 ton/tahun tapi Indonesia baru mampu memenuhi 10%-nya.
“Jadi, membudidayakan gaharu itu tidak ada ruginya. Panen yang baru dapat dilakukan 5 tahun–6 tahun setelah ditanam untuk pertama kalinya, menjadi terasa pendek jika dibandingkan dengan pertumbuhan gaharu di alam,” pungkas Taqy, yang juga menjual bibit gaharu seharga Rp5 ribu–Rp50 ribu.