
Patin, secara umum, memang masih kalah dari lele. Tapi, tidak berarti ikan ini boleh dipandang sebelah mata. Sebab, sebagai bibit, permintaannya membludag. Sedangkan sebagai ikan konsumsi, ia sudah mempunyai pasar yang fanatik. Mengapa begitu? Dan, apa itu patin?
Patin merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang memiliki potensi ekonomi yang baik. Tapi, teknik budidayanya yang gampang-gampang susah, membuat mereka yang ingin “bermain” di satwa air ini harus berpikir ribuan kali terlebih dahulu. Padahal, menurut Sukoco Djoyo Hadi Saputra, pemilik pembibitan patin di kawasan Cilangkap, Jakarta Timur, segala kesulitan dalam budidaya patin dapat diatasi.
Kesulitan yang dimaksud muncul pada saat pemijahan di mana patin yang telah dibudidayakan tidak dapat kawin dan bertelur sendiri. Dengan kata lain, membutuhkan bantuan manusia mulai dari pengeluaran sperma, pengeluaran sel telur, hingga percampuran sperma dengan sel telur yang dilakukan di luar rahim patin betina. Tapi, hal ini tidak perlu dikuatirkan karena bisa dipelajari.
“Hal pertama yang harus dilakukan yaitu mengeluarkan sperma dari tubuh patin jantan. Lalu, memilih dan memilah mana patin betina yang sel telurnya sedang matang gonad. Kemudian, menyuntik patin betina untuk membantunya mengeluarkan sel telur. Lantas, 12 jam setelah penyuntikan, sel telur pun keluar dan ditampung dalam sebuah wadah. Selanjutnya, dicampur dengan sperma. Hasil percampuran disebarkan ke dalam kolam dan 24 jam kemudian, sel telur-telur yang telah dibuahi itu menetas,” jelas Putra, begitu ia biasa disapa.
Patin, ia melanjutkan, sudah dapat “dikawinkan” pada umur dua tahun. Dari setiap “perkawinan”, akan dihasilkan 100 ribu−300 ribu telur, tergantung pada ukuran si patin betina. Sedangkan telur-telur yang menetas, bisa mencapai 90%, tergantung kualitas telurnya. “Pemijahan dapat dilakukan 2 minggu−1 bulan sekali hingga patin betina berumur 4−5 tahun, bahkan adakalanya sampai ia berumur 10 tahun,” ungkap generasi ketiga dalam usaha yang dinamai Pufan ini.
Kesulitan kedua muncul ketika telur-telur itu sudah berubah menjadi larva. Terutama, kala mereka berumur sehari. Pada saat itu, dalam rangka mengenali makanannya, mereka akan saling memakan. Imbas dari kanibalisme ini yaitu terjadinya kematian hingga 20%. Untuk mengatasi hal itu, harus secepat mungkin diberi artemia (artemia salina adalah sejenis plankton, red.) sampai mereka berumur lima.
Tahap kanibalisme ini akan berkurang, ketika larva-larva itu berumur 5 hari−2 minggu dan mulai mengonsumsi cacing sutra yang telah dicincang. “Dikatakan berkurang dan bukan menghilang, karena kanibalisme itu akan muncul lagi bila ukuran tubuh mereka tidak sama. Tapi, tidak perlu kuatir, sebab hal ini dapat diatasi dengan memisahkan mereka yang ukurannya berbeda. Di samping itu, tingkat kanibalisme pada patin tidak setinggi lele dan hanya terjadi saat mereka masih larva. Sementara pada lele, justru terjadi setelah mereka semakin besar,” tutur kelahiran Jakarta, 22 April 1990 ini.
Saat masih dalam posisi larva, ia menambahkan, kondisi air juga harus diperhatikan. Semisal, suhunya harus 28° C−30° C. “Tapi, sekali lagi tidak perlu kuatir. Untuk wilayah yang suhu airnya di bawah 28° C dapat diatasi dengan water heater,” ujarnya. Selain itu, ph air juga harus diperhatikan yaitu (idealnya) 6−7,5. “Untuk wilayah-wilayah yang tidak memiliki ph sebesar itu tetap dapat menggunakan air sumur (bor) yang notabene ph-nya 5 yang ditambahi aerator, kemudian ditampung, dan diendapkan semalaman,” imbuhnya. Namun, seandainya kondisi-kondisi tersebut tetap tidak dapat diatasi, ikan yang berkerabat dengan lele ini akan tetap dapat hidup meski kulitnya berubah kehitaman dan pertumbuhannya agak lambat.
Selain kondisi air, pemberian pakan harus dilakukan secara teratur yaitu setiap tiga jam dan disesuaikan dengan umurnya. Misalnya, untuk benih berumur 1−5 hari diberi artemia, 5 hari−2 minggu diberi cincangan cacing sutra, dan 2 minggu−siap panen (ukuran ¾−1 inci) diberi pellet. “Sebagai bibit, patin sudah layak jual saat berumur 2−3 minggu hingga 1 bulan dengan ukuran ¾−2 inci. Untuk ukuran ¾ inci, kami menjualnya dengan harga Rp70,- sampai Rp80,- per ekor. Sedangkan yang berukuran 2 inci, kami jual dengan harga Rp170,- sampai Rp200,- per ekor. Dalam sejarah hidup Pufan yang dibangun tahun 1989, kami pernah menjual hingga 1 juta bibit patin atau (sekarang) senilai Rp70 juta,-,” kisahnya.
Sementara untuk konsumsi, yang dimaui pasar yang berbobot 3 ons−1 kg dengan harga Rp10 ribu. Untuk ukuran lebih dari 1 kg, mengingat agak susah dalam pengolahannya, biasanya dijumpai dalam kondisi sudah di-fillet. Tapi, sayangnya, di Jakarta, khususnya, ikan yang tanpa duri sehingga gampang dikonsumsi, berprotein tinggi, dan mampu mencapai bobot hingga 10 kg ini dalam pemasarannya masih kalah bersaing dengan lele. “Masalahnya, dengan bobot dan harga yang sama, konsumen bisa memperoleh 12 ekor lele, sedangkan untuk patin cuma tiga ekor,” ungkapnya. Di sisi lain, lele bisa lebih cepat dipanen. Sementara di Jakarta, pembesaran patin pun tidak mungkin dilakukan. Mengingat, dibutuhkan lahan yang sangat luas.
Namun, ia melanjutkan, sebagai bibit, permintaannya sangat besar yaitu 4 ton/hari hanya untuk pasar Jakarta. Apalagi untuk pasar-pasar patin di luar Kota Metropolitan ini. Terbukti, Pufan, yang saat ini memiliki 20 kolam yang masing-masing berukuran 5 m x 7 m yang diisi dengan 70 ribu ekor bibit dan berukuran 3 m x 10 m yang diisinya dengan 250 ekor bibit ini, telah melempar bibit-bibit patinnya ke Palembang, Lampung, Cirata, Waduk Jatiluhur, Karawang, Cikarang, Balikpapan, Banjarmasin, Makassar, dan Riau. “Setiap bulan, rata-rata kami membukukan omset Rp8 juta,” ucapnya. Sedangkan sebagai konsumsi, anggota keluarga catfish ini merajalela di resto-resto Jepang, khususnya, dan berbagai rumah makan di Sumatera.