Franchise Investigate Before Investing

width=1024Dalam era orang-orang ingin langsung membangun usaha selepas pendidikannya, franchise bisa dijadikan cara cepat menjadi entrepreneur. Tapi, agar tidak tertipu atau bisa memahami lebih dalam tentang apa itu franchise, ada baiknya mengikuti panduan dan edukasi yang diberikan IFBM

Saat ini, telah terjadinya perubahan pola pikir di kalangan anak-anak muda, dalam kaitannya dengan bekerja atau mencari nafkah. Dulu, mereka merasa sangat bangga bila bisa menjadi pegawai negeri sipil (PNS) atau kerja kantoran, setelah menyelesaikan pendidikan mereka. Tapi, sekarang, hal itu justru mereka hindari. Anak-anak muda zaman sekarang lebih memilih untuk bekerja untuk diri mereka sendiri, dengan cara membangun usaha sendiri atau menjadi pengusaha. Karena, mereka merasa sebagai PNS atau karyawan ada limit-nya. Sementara, sebagai pribadi-pribadi yang lebih kreatif, inovatif, dan dinamis, mereka merasa bisa menghasilkan jauh lebih besar dengan mempunyai usaha sendiri.

Perubahan pola pikir ini menjadikan franchise—yang merupakan salah satu cara untuk mengembangkan usaha secara cepat—sebagai konsep bisnis yang paling menarik bagi mereka. Sebab, franchise juga bisa dijadikan cara cepat untuk menjadi pengusaha: tinggal ambil bisnis yang di-franchise-kan, lalu dijalankan, dan abrakadabra…jadi pengusaha deh.

Di sisi lain, usaha yang di-franchise-kan pun bisa dengan mudah dicari melalui berbagai pameran tentang franchise (dan business opportunity), yang di Jakarta saja diselenggarakan hingga empat kali dalam setahun. Sekali pun, calon franchisee tidak pernah tahu (atau tidak mau tahu) sudah berapa lama perusahaan-perusahaan yang di-franchise-kan itu hadir dan berapa banyak outlet-nya, di samping tidak mungkin meminta laporan keuangan mereka untuk mengetahui sudah pernah untung atau belum.

Namun, sebelum bicara panjang lebar tentang franchise, ada baiknya kita mengetahui apa itu franchise? Menurut Evi Diah Puspitawati, Associate Consultant dari International Franchise Business Management (IFBM), sebuah Franchise Consultant Firm yang sudah hadir di Tanah Air sejak 17 tahun lalu dan telah memiliki ratusan klien, franchise sangat banyak definisinya. “Secara sederhana, franchise bisa diartikan sebagai duplikasi usaha yang sudah sukses, untuk dimiliki orang lain. Dengan demikian, di sini ada unsur sudah sukses. Hal ini, sekaligus juga untuk menegaskan bahwa jika sebuah perusahaan belum sukses, tapi sudah di-franchise-kan itu berarti franchise abal-abal!” jelas Evi.

Berdasarkan PP No. 42 tahun 2007 tentang kriteria franchise yang diindonesiakan menjadi waralaba, disebutkan bahwa waralaba harus memenuhi enam kriteria yakni

1.      Memiliki ciri khas usaha
Yang dimaksud dengan “ciri khas” yaitu suatu usaha yang memiliki keunggulan atau perbedaan, yang tidak mudah ditiru dibandingkan dengan usaha lain sejenis dan konsumen selalu mencari ciri khas yang dimaksud. Misalnya, sistem manajemen, cara penjualan dan pelayanan, penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus dari pemberi waralaba.

2.      Terbukti sudah memberikan keuntungan
Yang dimaksud “sudah memberi keuntungan” yaitu menunjuk kepada pemberi waralaba yang telah dimiliki kurang lebih 5 (lima) tahun dan telah mempunyai kiat-kiat bisnis untuk mengatasi masalah-masalah dalam perjalanan usahanya. Dan, ini terbukti dengan masih bertahan dan berkembangnya usaha tersebut dengan menguntungkan.

3.      Memiliki standar atas pelayanan barang dan jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis
Yang dimaksud “standar secara tertulis” yaitu supaya penerima waralaba dapat melaksanakan usaha dalam kerangka kerja yang jelas dan sama (standar operasional kerjanya).

4.      Mudah diajarkan dan diaplikasikan
Yang dimaksud dengan “mudah diajarkan dan diaplikasikan” yaitu mudah dilaksanakan, sehingga penerima waralaba yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan mengenai usaha sejenis dapat melaksanakannya dengan baik, sesuai dengan bimbingan operasional dan manajemen yang berkesinambungan yang diberikan oleh pemberi waralaba.

5.      Adanya dukungan yang berkesinambungan
Yang dimaksud dengan “dukungan yang berkesinambungan” yaitu dukungan dari pemberi waralaba secara terus menerus, seperti bimbingan operasional, pelatihan, dan promosi.

6.      Hak dan kekayaan intelektual yang telah terdaftar
Yang dimaksud dengan “hak kekayaan intelektual yang telah terdaftar” yaitu hak kekayaan intelektual yang terkait dengan usaha seperti merek, hak cipta, hak paten, rahasia dagang sudah didaftarkan dan mempunyai sertifikat atau sedang dalam proses pendaftaran di instansi yang berwenang.

“Penjelasan sederhananya yaitu bahwa pertama, perusahaan itu harus sudah terbukti sukses. Kesuksesan tersebut dibuktikan melalui laporan keuangan dalam dua tahun terakhir, yang menyatakan perusahaan tersebut memperoleh keuntungan. Misalnya, sebuah perusahaan yang sudah beroperasi selama lima tahun. Pada tahun-tahun awal beroperasi mungkin belum menghasilkan keuntungan. Tapi, pada dua tahun terakhir, menunjukkan adanya keuntungan,” jelas perempuan, yang juga Sekretaris Jenderal Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia (WALI), ini.

Kedua, perusahaan itu mempunyai supporting units. Ketiga,perusahaan itu mempunyai standarisasi. Maksudnya, semuanya harus terstandar agar bisa diajarkan. Keempat, mereknya harus terdaftar. Berdasarkan ketentuan (PP No. 42 tahun 2007), perusahaan yang akan di-franchise-kan harus mendaftarkan diri ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Dirjen HAKI). Selanjutnya, Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag) akan memberi perusahaan itu Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW).

Kelima, adanya training di mana keberadaan training ini sangat penting dan tidak hanya diberikan pada awal kerja sama, tapi berkelanjutan (ongoing training). Perlu diketahui bahwa ada training yang ditujukan kepada para karyawannya saja, namun ada juga training yang melibatkan franchisee-nya. “Training untung franchisee, biasanya berlangsung lebih singkat dan tidak detil. Hal ini dilakukan ‘sekadar’ agar dia paham akan bisnisnya. Sementara training untuk karyawan, tentu saja lebih detil di mana menyangkut teori, praktik, dan evaluasi. Sedangkan R & D (Research & Development), franchisor juga harus memilikinya untuk melihat bahwa dia tidak stagnan,” jelas sarjana ekonomi dari Universitas Islam Bandung ini.

Namun, ia melanjutkan, banyak kalangan yang tidak perduli dengan laporan keuntungan dalam dua tahun terakhir. Mereka lebih perduli pada sudah berapa lama perusahaan itu beroperasi dan berapa jumlah outlet-nya. “Minimal, perusahaan itu sudah beroperasi selama lima tahun (sumber lain menyebutkan, minimal tiga tahun beroperasi, red.). Tapi, kalau belum pernah untung ya sebenarnya belum boleh di-franchise-kan. Sebenarnya, sudah berapa lama perusahaan itu hadir/beroperasi lebih untuk menunjukkan seberapa paham (mastery) perusahaan itu akan seluk beluk operasionalnya, perizinannya, dan sebagainya,” kata perempuan, yang telah lebih dari 15 tahun berkecimpung dalam bidang franchise ini.

Dengan kata lain, unsur lama ini juga bisa dianggap sebagai syarat. Selain itu, jumlah outlet. Namun, ending-nyatetap pada menguntungkan atau tidak. Misalnya, perusahaan itu sudah berumur 10 tahun dan mempunyai 10 outlet, tapi tidak pernah untung. “Sebenarnya, kategorinya belum layak di-franchise-kan,” tegasnya.

Singkat kata, ia menambahkan, bila sebuah perusahaan sudah berjalan dengan bagus, menguntungkan, dan terlebih mempunyai 2–3 outlet sebagai perbandingan antara lokasi yang satu dengan yang lain, serta sudah paham sekali dengan bisnisnya, maka perusahaan/bisnis itu sudah layak untuk di-franchise-kan.

Untuk itu, agar tidak terjebak, Evi berusaha mengedukasi/memberi masukan kepada orang-orang yang ingin mempunyai usaha dengan cara franchise, mengenai bagaimana caranya memilih franchise yang layak untuk dipertimbangkan. Guidance yang dimaksud yaitu

1.      Pilihalah usaha-usaha yang sesuai dengan passion kita atau usaha apa sih yang sebenarnya kita sukai.
2.      Untuk investasinya, cobalah cari usaha-usaha yang sesuai dengan kemampuan keuangan kita.
 
“Kondisi ini (keinginan menjalankan suatu usaha dengan investasi yang ada) akan membuat usaha-usaha yang akan diambil semakin mengerucut. Sehingga, akan lebih mudah mencari usaha yang sesuai kriteria itu. Mengingat, di pameran ‘kan tersedia ratusan brand yang akhirnya cuma akan membuat pusing dan tidak fokus,” ujarnya.

Ketika pada akhirnya menemukan tiga kandidat, misalnya restoran dengan investasi di bawah Rp1 milyar, maka
3.      Galilah informasi

Dari sini, kita akan melihat kesiapan franchisor dalam menawarkan apa yang dia punya kepada pihak lain. Di samping itu, calon franchisee juga harus menggali lagi tentang apa saja yang akan dia dapatkan kalau menjadi franchisee-nya. Seperti,apa support-nya dan bagaimana training-nya karena kita tidak mungkin menjalankan bisnis yang baru kita terjuni tanpa training. Bahkan di luar negeri, selain training dan support, juga ada R & D (Research & Development) di mana ketiganya merupakan indikator franchise yang laku. Selain itu, juga pemilihan lokasi, rekrutmen karyawan, marketing, operasional, dan sebagainya.

Calon franchisee juga harus meminta penjelasan tentang hitung-hitungannya. Misalnya, berapa nilai investasinya, apa saja yang harus dibayarkan, apa saja yang harus disediakan.

“Saya tidak terlalu percaya dengan calon franchisee yang membeli bisnis begitu dia datang dan franchisor yang nge-push supaya terjadi transaksi hari itu. Karena, kita sedang belanja bisnis, bukan belanja barang. Jadi, sekali lagi: galilah lebih dulu! Saya selalu mengatakan kepada calon franchisee, jika ada franchisor yang nge-push untuk terjadi transaksi hari itu dan di tempat itu, justru harus tanda tanya,” katanya.

Dikatakan begitu, ia melanjutkan, sebab jika franchisee menunjukkan minatnya, maka dia harus mengisi formulir, setelah pameran diundang ke kantor franchisor untuk penjelasan lebih detil tentang investasi, periodenya, dan step-step yang lain. Di samping itu, franchisor harus menunjukkan outlet-nya dan bersikap terbuka, serta memperkenalkan kepada franchisee-nya. “Jadi, semuanya itu butuh waktu,” imbuh kelahiran Bandung, 3 November 1964 ini.

Selain itu, ia menambahkan, jangan percaya pada janji dijamin untung. “Karena, pada dasarnya, franchise merupakan usaha yang sudah dijalankan dan terbukti sukses, tapi tidak ada jaminan bahwa franchisee-nya akan sukses juga. Bahwa, ada pengalaman seperti ini dan ada ketentuan seperti ini itu benar, sepanjang franchisee-nya menjalankan dengan cara yang sama, sesuai dengan ketentuan atau apa yang diajarkan franchisor, serta involve dan aktif di dalam menjalankan bisnisnya. Namun, kalau dia hanya beli, buka, dan membiarkan bisnisnya menggelinding begitu saja ya tidak mungkin itu terjadi. Ingat, semua bisnis mempunyai risiko!” tegasnya.

Di sisi lain, franchisor yang baik akan menjelaskan kapan akan mengalami masa-masa sepi, apa saja kendalanya, dan apa solusinya. Kalau ada complaint, bagaimana menghadapinya. Nah, di sinilah arti pentingnya mastery. Sehingga, franchisor akan menjadi guru dan konsultan bagi franchisee-nya. Berkaitan dengan itu pula, maka ada ketentuan bisnis itu mudah diajarkan dan diduplikasi, seperti tersebut di atas (hal ini sekaligus penjelasan keenam dari PP No. 42 tahun 2007, red.). Sebab, dengan itu, orang yang tidak tahu sama sekali, tapi begitu diajari akan menjadi tahu dan bisa.

Sementara tentang nilai investasi yang berbeda dari yang ditawarkan, karena adanya pembengkakan biaya saat display, menurut Evi, lantaran kecap selalu nomor satu. Dalam arti, orang berjualan tentu agar produknya dibeli. “Untuk itu, saya selalu menekankan investigate before investing! Galilah sedetil mungkin agar kita mengetahui berapa total investasinya.Jangan fokus pada royalty fee atau franchise fee, melainkan pada biaya sewa tempat, renovasi, maintenance, modal kerja, perizinan, dan sebagainya di mana itu semua tidak dapat dikeluarkan saat pameran. Karena itulah pentingnya ada pertemuan berikutnya di kantor franchisor, untuk memberi penjelasan berupa angka-angka, dengan catatan calon franchisee kelihatan minatnya,” jelasnya.

Untuk perjanjian lisensinya, minimal lima tahun di mana hal ini berkaitan dengan nilai investasinya. “Kalau sekolah, perjanjiannya akan lebih lama lagi, bisa sampai 15 tahun. Karena, investasi untuk sekolah ‘kan sampai milyaran rupiah. Jadi, tidak mungkin balik modal dalam tempo 1–2 tahun. Idealnya, tingkat pengembalian modal (ROI = Return Of Investment), setidaknya setengah dari masa perjanjian. Kalau perjanjiannya lima tahun, maka hitung-hitungannya 2,5 tahun sudah balik modal. Yang penting, tingkat pengembalian modalnya. Demikian pula dengan janji BEP (Break Even Point = titik impas) yaitu kembali pada setengah dari perjanjiannya,” ujarnya.

Untuk besar kecilnya royalty fee, tergantung pada industrinya. Misalnya, royalty fee untuk food & beverage 4%–8%, sedangkan untuk salon 8%–10%. Di luar itu, ada juga promotion fee, marketing fee, dan sebagainya. Royalty fee itu sendiri adalah fee atas peminjaman merek. Jadi, kalau mereknya mulai digunakan, maka royalty-nya juga harus segera dibayarkan.

“Kalau ada yang bebas franchise fee, royalty fee, dan lain-lain itu hanya gimmick. Sebab, pada dasarnya, hidup franchisor tergantung pada royalty fee. Berkaitan dengan itu, royalty fee harus dipungut, tidak boleh enggak. Tugas franchisor yaitu mendorong franchisee-nya agar sukses. Semakin sukses franchisee-nya, semakin sukses pula juga franchisor-nya. Yang saya kuatirkan, franchisor yang tidak memungut royalty fee bisa jadi tidak akan memberi support, visit, atau training lagi. Jadi, justru harus dicurigai,” ungkapnya.

Prospeknya? “Franchise, di mancanegara, sudah dikenal ratusan tahun lampau dan berkembang dengan bagus. Lantaran, ia memiliki unsur yang menarik yaitu duplikasi. Kalau induknya bagus untuk diduplikasi dan mempunyai sistem yang bagus, maka akan lebih cepat dibandingkan dengan jika kita membuka cabang sendiri yang berarti pula mengeluarkan modal sendiri. Ironisnya, kalau boleh dibilang begitu, di Indonesia di mana franchise baru sangat berkembang sekitar 10 tahun lalu, kebanyakan hanya meninggalkan trauma. Padahal, franchise juga mempunyai prinsip yang bagus. Sehingga, konsep bisnis yang satu ini diprediksi akan bertahan sangat lama. Sekali pun, untuk di Indonesia masih dalam tahap berjuang agar franchise bisa tetap bagus dan berkembang. Dengan syarat, pihak-pihak terkait tidak lelah dan bosan dalam mengedukasi,” pungkas Evi.

Tags

Share this on:

Related Post