JAKARTA, SiUntung.com – Menjelang pelaksanaan pemilihan presiden yang akan diselenggarakan pada 2019, semakin banyak beredar video, pesan singkat di telepon selular bahkan selebaran yang isinya berupa tuduhan negatif terhadap salah satu pasangan capres dan cawapres.
Kampanye semacam ini dimaksudkan biasanya adalah untuk menggoyahkan pemilih sehingga menjadi massa mengambang dan akhirnya memilih untuk berpihak ke pasangan capres lain.
Terdapat dua calon presiden yang akan berkompetisi memperebutkan kursi kepresidenan yakni Joko Widodo bersama calon wakil KH Maruf Amin yang diusung koalisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), PSI, PERINDO, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Golkar.
Calon presiden yang lainnya adalah Let Jend (purn) Prabowo Subianto bersama calon wakil presiden Sandiaga Uno yang diusung Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat.
Jokowi sering dikaitkan dengan tuduhan sebagai capres boneka karena diduga dikendalikan oleh Megawati Soekarnoputri, sementara itu Prabowo selalu dibayang-bayangi isu pelanggaran HAM berat lantaran dugaan pernah menculik beberapa aktivis reformasi tahun 1998.
Hal ini sangat disayangkan oleh beberapa kalangan. Dengan maraknya kampanye negatif yang menyerang pasangan capres/cawapres karena dikhawatirkan hal tersebut bisa mempengaruhi calon pemilih untuk beralih mendukung capres lain atau bahkan tidak memilih sama sekali (golput).
“Kampanye pemilu presiden belum dimulai secara resmi, tapi kampanye negatif atau kampanye hitam sudah mulai bermunculan, saya menghimbau kepada pasangan capres-cawapres dan tim pemenangannya melakukan kampanye positif dan tidak melakukan kampanye negatif, apalagi kampanye hitam yang menyebar kabar tak jelas dan biasanya dilakukan orang yang tidak bertanggung jawab” kata politisi Partai Kebangkitan Bangsa Khofifah Indar Parawansa
Kampanye hitam itu sama dengan membunuh karakter karena menjadi fitnah bagi lawannya, lanjutnya
Pengamat komunikasi politik Triyono Lukmantoro mengatakan kampanye hitam dalam politik adalah hal yang wajar dilakukan tetapi tidak akan memberikan pendidikan politik yang positif bagi masyarakat.
Wajar karena pasti ada pihak yang mencari kekurangan calon tertentu. Tapi kampanye hitam menjadi tidak sehat dan tidak mendidik karena materi yang digunakan cenderung bernuansa SARA, ujar Triyono.
“Kampanye hitam juga menunjukkan cara berpolitik yang tidak berkualitas dan tidak cerdas. Sebab, kampanye hitam yang menyerang suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) sangat tidak mendidik dan tidak tepat diterapkan di Indonesia.” lanjutnya
Indonesia adalah negara yang pluralis. Banyak suku dan agama. Tentu hal yang berbahaya kalau SARA menjadi materi untuk kampanye hitam, tegas Triyono
Kampanye hitam menjadi suatu hal yang berbahaya dalam berpolitik juga disebabkan sumber yang tidak jelas. Triyono mengatakan kampanye hitam biasanya tidak dilakukan oleh tim sukses calon-calon yang bersaing.
Tim sukses dan calon yang bersaing pasti lebih memilih mengadu visi dan misi. Kampanye hitam mungkin dilakukan oleh pendukung yang tidak masuk dalam tim sukses, tetapi tidak jelas siapa. Karena tidak jelas sumbernya, maka kampanye hitam seperti surat kaleng, tuturnya.
Triyono juga mengatakan kampanye hitam secara komunikasi politik juga tidak etis. Etika komunikasi, mengedepankan keterbukaan dan kejujuran. Dalam etika komunikasi, harus jelas siapa yang berbicara, apa yang dibicarakan dan untuk siapa ditujukan.
Sementara itu aktivis perempuan sekaligus Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) Dewi Motik Pramono mengatakan maraknya kampanye negatif yang dilakukan sejumlah pihak untuk menyudutkan salah satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden merupakan fenomena biasa jelang pelaksanaan pemilu.
Kampanye negatif adalah bumbu jelang pelaksanaan pilpres 2019. Jadi bagi pasangan capres dan cawapres jangan takut, kalau anda tidak salah, ya tidak akan salah, katanya saat ditemui di kantor pusat KOWANI di Jakarta Pusat.
“Saat ini masyarakat sudah semakin pintar dalam mengolah informasi yang diberikan kepada mereka. Masyarakat juga sudah semakin paham mengenai figur pemimpin seperti apa yang mereka inginkan” lanjut Dewi. (SON/ren)