Hari ini, tepat 16 tahun yang lalu, Indonesia sempat mengalami krisis demokrasi yang sudah akut. Berawal dari kasus penyerbuan kantor DPP PDI atau yang lebih dikenal dengan peristiwa Kuda Tuli alias kasus dua puluh tujuh Juli. Suatu peristiwa yang telah tercatat sebagai lembaran hitam dalam sejarah demokrasi Indonesia. Rezim otoriter Orde Baru dibawah pimpinan Soeharto secara terang-terangan menggunakan polisi dan tentara untuk membungkam demokrasi. Kekerasan tak terelakkan dan belasan korban jiwa dari kalangan aktivis pro demokrasi menjadi tumbal.
Hasil penyelidikan Komisi Hak Asasi Manusia pernah menyebut bahwa 5 orang meninggal dunia, 149 orang (sipil dan aparat) luka-luka, 136 orang ditahan, termasuk 124 anggota dan simpatisan PDI Megawati dijatuhi vonis kurang dari satu tahun dan ditahan di Rutan Salemba.
Bahkan, sebuah organisasi pergerakan kaum muda, yaitu, Perhimpunan Rakyat Demokratik (PRD) turut dituduh sebagai dalang peristiwa itu. Konsekuensinya, para aktivis PRD itu harus menanggung beban diburu, ditangkap, disiksa, diteror, diintimidasi, dipenjara, mendapat stigma sebagai Komunis.
Drama berseri kasus Kudatuli anti klimaks
Memang, para penegak hukum kita pernah memberikan ekspektasi yang tinggi bagi para korban peristiwa Kuda Tuli. Aparat penegak hukum kita pernah melakukan proses pengadilan terhadap pelaku yang terlibat dalam penyerbuan “Markas Banteng” di Jl. Diponogoro, Jakarta Pusat. Tetapi, itu bukan Pengadilan HAM. Pengadilan yang telah digelar, yakni, Pengadilan Koneksitas yang penuh intervensi dari kekuatan orba yang tersisa saat itu.
Para pemain yang terlibat dalam “drama berseri” penyelesaian kasus hukum peristiwa Kuda Tuli itu adalah beberapa prajurit ABRI dan Polisi yang sudah menyandang predikat terdakwa. Selain itu, Tim Penyidik Koneksitas kasus 27 Juli juga pernah menetapkan mantan Pangdam Jaya, Sutiyoso sebagai tersangka peristiwa kudatuli oleh Mabes Polri pada 2004 silam. Selain Sutiyoso yang juga menjadi tersangka adalah,mantan Ketua Umum Soeryadi, dan mantan pengurus DPP PDI Soerjadi seperti Sekjen Buttu R Hutapea.
Babak pertama “drama berseri” penyelesaian kasus Kuda Tuli itu dimulai tahun 2003. Saat itu, pengadilan koneksitas telah mengadili 2 perwira intel Kodam Jaya dan 3 orang sipil. Empat orang bebas. Satusatunya yang divonis selama 2 bulan hanya seorang buruh bangunan yang terbukti melemparkan batu ke markas PDI.
Lalu, yang kini menjadi pertanyaan, apakah cuma dua perwira intel di lapangan serta tiga orang sipil yang didakwa melakukan perusakan Kantor PDI? Kalau benar, seberapa hebat kah dua perwira intel itu? Kalau-pun masih ada pendapat publik yang tetap keukeh menyatakan bahwa dalangnya adalah penguasa. Lalu, siapa penguasa yang dimaksud untuk menjadi aktor intelektual dalam “drama berseri” pengungkapan kasus Kuda Tuli?
Rosihan Anwar dalam bukunya bertajuk “Sejarah Kecil (Petite Histoire) Indonesia” (tahun 2004 dan dicetak ulang 2009) menyebutkan beberapa hari sebelum kejadian, Kapuspen ABRI Brigjen Amir Syarifuddin mengatakan kepadanya bahwa markas PDI akan diserbu. Saat penyerbuan di posko dekat kantor PDI itu Rosihan Anwar mendengar Kapuspen berbicara kepada Pangdam Jaya Mayjen Sutiyoso lewat walky talkie, “Yos, masuklah ke dalam. Ini hari sudah siang. Kita terlambat nanti.” Rosihan Anwar menyimpulkan,“ This is Suharto’s game and his ABRI”.
Atas temuan data mengenai keterlibatan Sutiyoso atau akrab disapa Bang Yos, aparat penegak hukum kita dengan sangat terpaksa memasukan nama mantan Gubernur DKI Jakarta itu sebagai aktor utama dalam “drama berseri” pengungkapan kasus Kuda Tuli sebagai pemeran tersangka, walau-pun tidak pernah muncul dalam layar kaca.
Kurang aktor, drama berseri Kudatuli sulit selesai
Namun, tetap saja publik dan korban peristiwa Kudatuli tetap memandang bahwa penyelesaian kasus Kudatuli itu seolah masih tidak ada keseriusan dari aparat penegak hukum. Bagaimana tidak? mantan Presiden Soeharto, mantan Panglima ABRI Faisal Tanjung, mantan Kasospol Syarwan Hamid, hingga presiden Susilo Bambang Yudhoyono sama sekali tidak tersentuh.
Padahal, dalam dokumen Laporan Akhir Komisi Hak Asasi Manusia menyebut pertemuan tanggal 24 Juli 1996 di Kodam Jaya dipimpin oleh Kasdam Jaya Brigjen Susilo Bambang Yudoyono (sekarang Presiden RI). Hadir pada rapat itu adalah Brigjen Zacky Anwar Makarim, Kolonel Haryanto, Kolonel Joko Santoso dan Alex Widya Siregar. Dalam rapat itu, Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan penyerbuan atau pengambilalihan Kantor DPP PDI oleh Kodam Jaya.
Lantas, sampai kapan sang sutradara, dalam hal ini aparat penegak hukum mau menampilkan aktor utama dalam “drama berseri” Peristiwa Kuda Tuli yang telah lama dinantikan publik. Padahal, peristiwa Kuda tuli itu adalah Pelanggaran Ham Berat, karena negara (pemerintahan Soeharto dan aparat negara baik sipil dan militer) terlibat dan melakukan tindak kekerasan, pembunuhan, penangkapan, teror, intimidasi, pemenjaraan, secara meluas dan sistimatis kepada masyarakat sipil.