Liberalisasi Pilkada dan Otonomi Daerah

width=660Bergulirnya pemilihan kepala daerah baik secara langsung maupun tak langsung merupakan hasil renungan panjang reformasi sejak 1998. Perubahan rezim tersebut menandakan bahwa kesadaran bernegara tumbuh dengan daya euphoria tinggi. Sekaligus membawa karakter rakyat Indonesia menuju tepi jurang kehancuran nilai-nilai yang dihasilkan oleh perubahan tersebut. Sebagaimana kita ketahui bahwa kegagalan reformasi berada pada gagalnya menata kepemimpinan nasional maupun daerah.

Bukan hanya itu, reformasi gagal total menyadarkan rakyat untuk tidak kebablasan dalam memahami proses demokrasi yang di hasilkan oleh reformasi itu. Pemilu 2004 kekuasaan dan kedaulatan sepenuhnya diserahkan pada rakyat untuk melaksanakan fungsi demokrasi. Pada momen ini adalah pintu utama kekuatan Negara dalam mengkonsolidasikan demokrasi secara keseluruhan baik ditingkat pusat maupun daerah dan lokal (pedesaan).

Seluruh komponen regulasi UU maupun aturan teknis lainnya digagas secara bersama-sama ditingkat

legislatif dan eksekutif sebagai penyelenggara negara dan dijabatkan kepada Komisi Pemilihan Umum unuk dilaksanakan secara teknis dan seksama. Berbagai polemik dihadapi sebagai bagian dari tantangan dan rintangan dalam menegakkan fungsi etika demokrasi sesungguhnya.

Namun yang terjadi jusru sebaliknya bahwa Pemilu kepala daerah secara langsung itu merupakan penyebab paling utama kemunduran otonomi daerah yang menyeret bangsa dan negara ini ke arah pelemahan, transaksional kepemimpinan, penjarahan sumber penghidupan dan penting lagi bahwa bangsa ini diseret oleh arus penipuan kapitalisme liberal dalam proses demokrasi tersebut.

Perjalanan demokrasi Indonesia ini yang masih dalam takaran minus bahkan kurang memahami berbagai problem otonomi daerah yang berkaitan dengan eksistensi penyelenggaraan pemerintahan.

Faktor lain dari kemunduran otonomi daerah ini adalah para calon-calon pemimpin yang masuk dalam bursa Pilkada tidak memperhatikan asas nilai yang akan ditegakkan karena memang selama ini hanya suka melempar isu-isu konflik agama, ras, suku, pelecehan keyakinan dan pertenangan kelas sosial.

Kalau mengambil hikmah sejarah bangsa ini bahwa pada kurun waktu tahun 1928 kita telah mendeklarasikan sebuah Negara bangsa merdeka yang merupakan cita-cita bersama untuk melakukan konsolidasi nasional dalam konteks mencapai persatuan dan terselenggaranya kedaulatan rakyat.

Namun dari masa ke masa ternyata proses pendewasaan kedaulatan itu belum maksimal, malah sebaliknya menjadi subordinasi dari kekuatan asing tanpa tapal batas kerjasama. Faktanya bahwa kemunduran suatu negara bangsa maupun daerah karena sering tidak sejalan kata dengan perbuatan.

Lihat saja, antara hubungan otonomi daerah dengan kekuatan asing neoliberalisme, hubungan keuangan dengan pembuatan regulasi perimbangan keuangan pusat-daerah, hubungan pajak dengan distribusi kesejahteraan. Semua hubungan ini mengalami masalah, tidak ada kajian dalam system otonomi daerah yang tidak menghasilkan uang, semua proses kajian itu justru membuka pintu hutang dan mobilitas pengeksploitasian sumber daya alam secara serampangan yang diatur melalui berbagai macam regulasi-regulasi jangka pendek.

Apalagi sekarang ini, pemerintahan otonomi daerah sangat diperbolehkan menerbitkan surat utang daerah (SUD) atau asset obligasi daerah yang dijual kepada asing melalui pasar modal keuangan dengan seribu kali alas an “mencari dana perimbangan DAK dan DAU”.

Sponsor dibalik penerbitan SUD tersebut tidak lain adalah Bank Dunia yang merupakan rencana sistematis untuk menguasai seluruh asset sumber-sumber daya alam negeri ini. Agenda Bank Dunia tersebut merupakan cara untuk membuat negara-negara berkembang seperti Indonesia mengalami “defency” yang sangat besar melalui pasar keuangan dan SUD itu juga menjadi alat kontrol kapialisme global terhadap negara-negara berkembang.

Tidak bisa dihindari lagi ketika FB dalam kampanye dan debat kandidat calon gubernur dan wakil gubernur Daerah Keistimewaan Jakarta yang diselenggarakan oleh Metro tv beberapa waktu lalu telah mengisyaratkan sebuah kebijakan Penerbitan Surat Utang Daerah apabila FB – NR terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Program kampanye seperti ini tentu memuat strategi kebijakan dalam proses politik, ditambah dengan faktor janji kampanye. Tentu hal ini merupakan sebuah konspirasi dalam system politik pilkada maupun otonomi daerah yang dilakukan oleh IDB, WB dan LoI maupun bank-bank kapitalis neoliberal lainnya. walaupun FB – NR mengalami kekalahan telak dalam pilkada DKI Jakarta.

Namun kebijakan tersebut tetap berjalan sebagaimana rencana sebelumnya, karena pemerintah DKI Jakarta menggunakan asas pembantuan dan asas desentralisasi kewenangan kebijakan otonomi daerah telah melakukan perjanjian dan MoU dengan PT. Pemerintah Efek Indonesia (PEI) sebuah perusahaan yang ditunjuk langsung oleh Bank Dunia (IMF) untuk memberikan peringkat AA+ (Terbaik Otonomi Daerah) kepada DKI Jakarta dan AA+ itu sebagai pertanda penerima Ijasah terbaik yang berbentuk investasi saham dengan kewajiban menerbikan Surat Utang Daerah oleh pemerintah DKI Jakarta.

Dengan demikian, Hasil pemeringkatan AA+ Stable serta didukung oleh rekomendasi kementerian dalam negeri dan persetujuan menteri keuangan, maka DKI Jakarta siap menerbitkan obligasi yang merupakan obligasi pertama di Indonesia pada level pasar modal daerah. (MetroTV, 07/09/2012) Klausul kebijakan seperti ini sudah berlangsung lama sekali, ketika pemerintah Indonesia secara nasional menerbitkan Surat Utang Negara setiap tahun dan meminjamakan modal asing kepada bank-bank dunia.

Dalam tahun ini saja penerbitan Surat Utang Negara mencapai 300 Triliun rupiah untuk menambal kekurangan Anggaran pendapatan Belanja Negara (APBN). Demikian juga dengan pemerintah Daerah yang mengikuti kebijakan pemerintah pusat untuk menerbitttkan Surat Utang Daerah demi menutup kelemahan Anggaran pendapatan Belanja Daerah (APBD) dengan system menukarkan sumber daya alam daerah dengan perjanjian – perjanjian penanaman pasar modal asing.

Decision Making police otonomi daerah dan Pilkada sebagai proses melahirkan utang – utang daerah dengan mencetak SUD tersebut. Liberalisasi gaya baru (new model) ini kedepan akan mengakibatkan

kolapsnya Negara dari pusat hingga daerah.

Pandangan liberalisme bahwa menganggap otonomi daerah sebagai titik aman untuk mengembangkan Surat Utang diberbagai sektor. Argumentasi ini menurut penulis adalah bentuk intervensi ekonomi yang sudah pasti terjadi problem ekonomi dan sosial politik kompleks serta rumit.

Sangat jelas insrumen liberalisasi ini merupakan jalan baru dan subur masuknya system liberalisasi demi menguasai struktur anggaran, sumber daya alam, utang, melalui kebijakan otonomi daerah secara langsung. Hal ini fakta baru, bahwa liberalisasi system otonomi daerah dengan segala kekuasaannya yang mencakup seluruh sektor merupakan operasi desain neokolonialis melalui berbagai macam bank-bank dunia. Semua intrumen liberalisasi ini telah mengobrak-abrik system pemerintahan dari pusat hingga daerah.

Fakta lain yang dipandang sudah sangat emergency adalah penerbitan Ijin Usaha Pertambangan (IUP) kurang lebih enam ribu ijin yang harus dikeluarkan. Belum lagi ijin usaha perkebunan, penguasaan hutan, ekplorasi laut, ijin prikanan, ijin pendirian Mall sampai pada penguasaan sumber air minum.

Belum lagi soal tata ruang daerah yang padat, kebanjiran, macet maupun arus cuaca yang dipengaruhi oleh keadaan alam yang selalu diekploitasi. Liberalisasi dalam bentuk penerbitan SUD ini dimulai dari DKI Jakarta dan pasti memberikan efek kepada daerah lainnya yang dianggap sebagai jalan baru perekonomian daerah namun tidak disadari bahwa hal demikian tidak penting dan itupun dapat merusak daerah itu sendiri.

Konsep liberalisasi otonomi daerah dan kebijakan politik pilkada merupakan cara-cara melakukan pragmentasi, disintegrasi maupun dikotomi system otonomi daerah yang berbuah konflik horizontal vertikal. Kekuatan liberalisasi itu berada pada kerjasama ASEAN, APEC, G 20 dan Non Block yang saat ini sedang membangun persaingan kekuatan antar benua yang sasaran eksploitasinya adalah otonomi daerah dan proses Pilkada.

Penulis adalah Rusdianto Mahasiswa Komunikasi Politik Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta

Tags

Share this on:

Related Post