Pagi itu di kawasan Jalan Kisamaun di Kota Tangerang, Banten, para penjajak makanan ringan sudah ramai berkumpul di pertigaan Pasar Lama di jalan yang sama. Padahal, kala itu embun masih berkabut.
Saya pun mulai berbelanja untuk mengisi perut kosong setelah berolahraga di jalan setapan di Taman Kali Cisadane. Berbagaimacam dagangan, gorengan sampai dodol Cina dijual. Ada yang unik dari pemandangan di Pasar Lama, yaitu begitu kentalnya kehidupan Tionghoa di sana. Kebanyakan toko-toko berjualan keperluan sembahyang kaum Konghuchu. Mulai dari dupa, sampai makanan sesaji.
Di dekat lapak makanan ringan, ada Musem Benteng Heritage. Museum ini berdiri di bangunan lama yang terawat, tepatnya sudah direstorasi. Masuk ke dalam museum ini, kita bisa melihat sejarah peranakan Tionghoa di Tangerang. Peranakan Tionghoa di Tangerang bisa disebut Cina Benteng.
Ketika masuk, kita sudah disajikan dengan lukisan-lukisan Tangerang di Zaman dulu. Termasuk foto kawasan Pasar Lama. Foto itu sekitar tahun 1950-an. Kawasan itu persis menggambarkan Tiongkok, Cina Daratan. Persis di bawah foto itu ada potongan berita Harian Sin Po tahun 1940-an. Rumah-rumah bertingkat dua lantai. Museum ini sendiri dulunya adalah tempat tinggal, dibangun pada abad 17 atau sudah 300 tahun.
Arsitektur museum ini sudah bercampur dengan adat jawa dan masyarakat tropis. Hal itu ditunjukkan dengan jarang adanya pintu pemisah. Itu artinya menunjukan bagaimana budaya Tionghoa bercampur baur dengan budaya Indonesia, Malaka, Malaysia dan Singapura. Warnanya cerah, dan ada ornamen burung khas negara tropis.
Jalan-jalan dilanjutkan, masuk ke lantai dua, suasana lokal sudah mulai terlihat. Banyak koleksi benda yang sudah teradaptasi oleh rasa Indonesia. Koleksi itu menggambarkan sejarah peranakan Tionghoa, terutama di Tangerang, Banten.
Museum Benteng juga menyimpan koleksi buku bela diri silat. Salah satunya, cerita Pendekar Sie Jin Kwie. Sie Jin Kwie adalah cerita tentang jenderal perang Cina dari Dinasti Tan. Cerita silat ini ditulis oleh Oey Kim Tiang. Ada juga replika kapal pelaut Cheng Ho. Cheng Ho berasal dari keluarga Muslim.
Dia membawa sekitar 300 kapal-kapal kayu, dengan sekitar 30 ribuan pengikut. Salah satu pengikutnya mendarat di Indonesia. Pada abad 15 pelaut-pelaut Cina mendarat di Tangerang. Mereka menetap dan membuka pertanian. Sehingga Cheng Ho sendiri sampai saat ini disebut sebagai nenek moyang dari peranakan Tionghoa di Tangerang, itu juga jawaban mengapa ada istilah Cina Benteng.
Tidak melulu cerita perang dan tegang, kesenian tempo dulu juga ada di museum ini. Seperti gambang kromong, Tehyan, Sukong, gambang dan gendang. Ada juga kain-kain batik, kain-kain bangsa Yunan, juga kebaya.
Meseum ini juga menggambarkan peristiwa 14 tahun silam. Saat itu kerusuhan anti-Cina meletus di berbagai kota, terutama Jakarta, Solo dan Medan. Peranakan Tionghoa menjadi incaran kaum anti-Cina. Harta keturunan dijarah, mereka dibunuh dan diperkosa. Mereka dijadikan kambing hitam atas nama nasionalisme. Mereka dianggap bukan bagian dari Indonesia.