JAKARTA, SiUntung.com – Gurus Besar Universitas Hasanuddin Makassar, yang juga mantan anggota DPR RI dari Golkar, Anwar Arifin menegaskan jika pemilu dengan suara terbanyak sekarang ini mengakibatkan terjadinya pasar gelap politik, karena untuk mendulang suara caleg dan partai dilakukan secara transaksional. Sebab, kampanye terbuka dan pengeahan massa memang tidak banyak berpengaruh untuk perolehan suara pemilu itu.
“Sekarang ini seperti pasar gelap politik di mana caleg atau partai banyak yang melakukan transaksi untuk mendulang suaranya agar menang. Mereka menyadari kalau kampanye terbuka, pengerahan massa, pasang iklan dan semacamnya itu tidak berpengaruh untuk perolehan suara. Sebab, yang menentukan memang keluarga, kerabat, dan jaringan emosional rakyat lainnya,” tandas Anwar Arifin.
Di negara maju pun lanjut Anwar Arifin, tidak ada kampanye politik seperti di Indonesia. “Jadi, kampanye sekarang ini masih khas Indonesia. Mengapa? Karena mayoritas rakyat, yaitu 92,7 persen pendidikannya masih kelas 2 SMP, sehingga masih belum mengetahui fungsi wakil rakyat, maka pemilu tidak dihadapi secara rasional tentang siapa orang yang pantas menjadi wakil rakyat,” katanya.
Selain itu menurut Anwar Arifin, kalau bukan transaksional, harus ada hadiah-hadiahnya dalam kampanye. Seperti di Sulawesi Selatan, ada 3 pasangan calon bupati yang mengikuti Pilkada, dan ketiganya sama-sama memberikan hadiah, maka ketika pemilu, ketiga cabup itu dicoblos. Mengapa? “Karena mereka merasa ketiganya sama-sama telah memberikan hadiah. Ini kan fakta politik rakyat,” ungkapnya.
Anwar mengakui jika DPD belum dikenal masyarakat. Bahkan untuk daerah Sulawesi, yang mewakili dirinya, Anwar sendiri tidak tahu, dan tidak pula merasakan apa yang dilakukan oleh keempat anggota DPD dari Makassar itu selama ini. “DPD belum familier, sehingga perlu dievaluasi. Apalagi kinerja DPD selama ini hanya sebagai legitimasi politik. Tidak seperti senator di Amerika Serikat,” tambahnya.
Fakta politik tersebut menunjukkan bahwa, dalam politik Indonesia masih terjadi kesenjangan keterpilihan, elektoral antara yang diwakili dan yang mewakili baik DPR maupun DPD. Tak ada lagi kementerian penerangan, yang seharusnya bisa menjelaskan fungsi dan tugas DPD RI, dan adanya gerakan kembali ke UUD 1945 berikut GBHN, karena kelompok yang dipimpin oleh Try Soetrisno itu, merasa reformasi ini tidak memberi kemaslahatan pada rakyat. “Untuk itu, mereka menginginkan amandemen kelima UUD 1945,” pungkas Anwa Arifin.(SON/mnb)