Reformasi birokrasi yang mulai dicanangkan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menurut pengamat hukum dari Universitas Gajah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, harus segera dibuktikan dengan tindakan nyata, jangan hanya sebatas pada wacana saja.
Lakukan jangan hanya katakan. Jangan biarkan ada penghalang atau perusak dari agenda-agenda reformasi birokrasi ini, ujar Zainal dalam diskusi bertema ‘Reformasi Birokrasi DPD RI’ di lobby gedung DPD RI.
Sekretariat Jenderal (Sekjen) sudah memulai langkah tersebut maka, menurut Zainal, anggotanya juga harus melakukan dengan langkah political and constitutional reform. Jika political and constitutional frameworks-nya tidak dilakukan, maka reformasi birokrasi tersebut akan menjadi sulit untuk diimplementasikan.
Selain itu, reformasi institusional pun harus diperhatikan. Di sini, ditekankan Zainal bukan hanya capacity building atau bentuk fisik dari gedungnya saja, tetapi lebih dari itu. Yang dimaksudkan Zainal sebagai capacity building disini adalah kekuatan staf dari lembaga itu sendiri.
Institusi. Itu faktornya banyak, salah satunya building capacity. Bukan hanya sekedar gedung tapi lebih dari itu. Contohnya parlemen Thailand pada tahun 2009 pernah mengatakan stafnya harus lebih kuat dari anggota parlemennya. Atau paling tidak setara, jelas Zainal.
Zainal menambahkan dalam konteks tertentu anggota parlemen itu sebagai pengambil kebijakan. Untuk mengambil kebijakan tersebut perlu dilakukan riset. Riset tersebutlah yang harusnya dilakukan oleh stafnya.
Jadi harusnya bagaimana mendorong kapasitas dan kapabilitas stafnya yang harus lebih tinggi dari yang ada sekarang, tegas Zainal.
Faktor ketiga yang tidak kalah penting untuk mewujudkan reformasi birokrasi yang efektif, sambung Zainal adalah legal culture atau kultur hukum. Legal culture dianggap penting, karena menurut Zainal, apapun sistemnya tetap saja tidak ada yang sempurna. Tetap membutuhkan orang untuk pengoperasiannya.
Kita bangun sistemnya kita setuju, tapi kalau tidak diikuti dengan legal reform dan law enforcement-nya percuma. Contohnya LPSE, proses itu tidak menjamin, maka harus diimbuhi dengan legal culture reform, dalam hal ini penegakkannya, jelas Zainal.
Selanjutnya adalah masalah timing atau pilihan waktu. Ini juga bagi Zainal sangat penting, dalam reformasi birokrasi. Dimanapun harus menghitung waktunya. Kalau tidak menghitung waktunya, apalagi ditengah kewenangan DPD yang lemah dalam konstitusional itu akan menjadi timpang.
Terakhir adalah perihal terobosan atau breaktrough atau penggunaan hal-hal yang diluar dari kebiasaan atau standar-standar baku yang ada. DPD, dikatakan Zainal, punya kesempatan untuk membangun anti korupsi untuk parliamentary staf-nya kenapa tidak dimanfaatkan dengan baik. Apalagi didukung dengan chanel yang dimiliki oleh DPD. DPD bisa sharing sistem dan informasi.
Intinya, langkah yang dilakukan luar biasa, tapi jangan sampai hanya berhenti di tingkat perkataan. Yang baik itu adalah yang dilakukan, tutup Zainal.